Komedi
Putar
Oleh:
Ahmad Yusuf Ibnu
Di
sebuah karnaval di ujung kota, dihiasi lampu berbagai macam warna, dipenuhi
dengan berbagai macam wahana-wahana yang sangat menyenangkan. Semua orang yang
ada di kota itu datang dan menikmati suasana di dalam karnaval itu. Anak-anak
kecil yang asyik menikmati manisnya kembang gula, para dewasa yang sedang asyik
melupakan segala bentuk permasalahan dan ingin menikmati keadaan, para golongan
muda yang mencari keseruan didalam hidup, asmara, dan pencarian jatidiri. Semua
jenis, semua golongan, semua umur datang ke karnaval itu dan menikmati setiap
waktu mereka disana.
Aku
sendiripun menyempatkan diri untuk datang dan mencoba menikmati waktuku disini.
Ah! Pikiriku sedang apasih sebenarnya orang-orang yang ada disini? Aku sangat
tidak mengerti apa yang asik dari tempat ini. Kemudian aku mencoba semua wahana
yang ada disini, dari yang paling ekstrim pikirku, tapi ada satu wahana yang
mengalihkan pandanganku. Meriah pikirku, kuperhatikan lebih dalam memiliki
banyak warna, orang yang naik dan turun dari situ kuperhatikan wajah mereka
yang ceria, wahana ini memberikan keceriaan kepada semua orang, aku ingin
sekali berada di barisan itu, orang-orang rela berbaris berjam-jam hanya untuk
menaiki wahana itu. Aku ingin mencoba untuk mendapatkan sedikit keceriaan
darinya. Wahana hidup pikirku. Sebuah komedi putar yang ceria dan megah berdiri
tinggi menyentuh langit. Semua lampu yang berada di badannya menyilaukan mata,
mengalihkan pandangan orang yang berada di luar karnaval sekalipun.
Aku hanya duduk sendiri di sebuah bangku di pojok. Aku
mengambil sebatang rokok, kubakar pelan-pelan. Warna kemerah-merahan dari bara
api menyala-nyala, asap menari-nari merangsang hati menuju langit. Aku duduk
dan terus kupandangi komedi putar itu. Ingin sekali aku mencoba menaikinya
mencoba terbang menyentuh langit dan bintang-bintang. Bintang-bintang yang
berada di angkasa saja iri padamu komedi putar. Terang lampumu mengalahkan
mereka semua. Tapi apa daya? Aku takut akan ketinggian, berada didekatmu saja
aku takut. Aku hanya bisa duduk disini memandangimu tanpa bisa merasakan
keceriaan yang engkau berikan. Hari semakin malam, semua orang mulai
meninggalkan tempat ini. Mereka lelah, tapi entah kenapa aku tidak merasakan
lelah di tempat ini. Sudah kuhabiskan berjam-jam hanya duduk disini, berserakan
sisa-sisa rokokku di bawah kursi aku diam seribu bahasa. Aku harus pulang
pikirku.
Aku akan mengalahkan rasa takutku, sedikit demi sedikit
aku memberanikan diri. Selangkah demi selangkah, dan tidak terasa aku sudah
duduk disana. Perlahan komedi putar
mengajakku dekat dengan langit. Senang rasanya, ceria sekali perasaanku,
akhirnya aku bisa merasakan keceriaan yang engkau berikan. Aku merasa sedang
terbang, dan aku harap aku tidak terjatuh. Jadi begini rasanya menaiki komedi
putar, sungguh aku tidak ingin hal ini berakhir. Aku ingin selalu merasakan
keceriaanmu, Komedi putar.
These words were assembled to portray me. I am the ferris wheel of this story. I was described as appealing and rousing like the giant wheel. I was beyond flattered when I first read this. Not because its compliment, but how close it is with how i wish people would feel when they're around me. I am also pleased embracing the fact that I dont have to be super fabulous or stunning to be someone's muse. I just need to be myself. It's enough to give people what I desire them to see. To the one who write this, well, thankyou for teaching me how essential it is to appreciate my uniqueness.